Oleh: Susi Rio Panjaitan
Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dan ditegaskan dalam beberapa seumber hukum fundamental. Secara yuridis konstitusional, Pancasila tercantum secara eksplisit dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat. Sebagaimana tertulis pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara dalam Pasal 1, Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Selain itu, dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 2 tertulis: “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.”
Pancasila harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bermasyarkat, berbangsa dan bernegara. Hal ini tidak hanya berlaku bagi warga negara Indonesia yang sudah dewasa, tetapi berlaku juga bagi anak-anak (usia di bawah delapan belas tahun). Dalam Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa setiap anak berkewajiban untuk : 1. menghormati orang tua, wali, dan guru; 2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; 3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara; 4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan 5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. Apa yang tertulis dalam pasal ini mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Artinya, anak Indonesia juga wajib menghidupi Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarkat, berbangsa dan bernegara. Agar dapat menghidupi Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarkat, berbangsa dan bernegara, Pancasila harus ada di hati anak Indonesia.
Pancasila di hati anak Indonesia bukan sekedar hafal lima sila atau sekadar mampu pengucapankan dengan benar dalam upacara. Ini adalah tentang nilai-nilai yang tumbuh secara perlahan dan menetap dalam diri anak Indonesia. Nilai-nilai ini yang membentuk cara berpikir, merasakan, dan bertindak anak Indenesia dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika Pancasila ada di hati anak Indonesia, mereka belajar mengenal Tuhan dan hidup dalam rasa syukur serta kasih. Dari sana tumbuh sikap menghormati perbedaan dan keberagaman, tanpa merasa paling benar atau merendahkan yang lain. Anak memahami bahwa keyakinan adalah ruang privat yang suci dan harus dijaga dengan sikap saling menghormati.
Pancasila di hati anak juga tampak ketika anak memperlakukan sesamanya dengan manusiawi. Anak belajar bahwa setiap orang memiliki martabat yang sama, sehingga kekerasan, ejekan, dan perundungan (bullying) bukanlah hal yang wajar dan tidak dibenarkan. Anak belajar berempati, menolong teman yang kesulitan, dan bersikap sopan dalam pergaulan.
Indonesia adalah negara yang sangat beragam dalam agama dan keyakinan, suku, adat istiadat, bahasa, bahkan warna kulit. Dalam keberagaman tersebut, Pancasila di hati anak menumbuhkan rasa cinta pada persatuan. Anak tidak melihat perbedaan suku, bahasa, atau latar belakang sebagai alasan untuk menjauh, melainkan sebagai kekayaan yang patut dihargai dan dirawat. Mereka merasa bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia dan belajar mengutamakan kebersamaan.
Pancasila yang hidup di hati anak Indonesia juga membimbing mereka dalam mengambil keputusan. Anak belajar mendengarkan pendapat orang lain, berbicara dengan santun, dan menyelesaikan masalah melalui musyawarah. Mereka memahami bahwa setiap suara berharga dan keputusan bersama harus dihormati.
Pancasila di hati anak Indonesia juga tercermin dalam sikap adil dan peduli. Anak belajar berbagi, jujur, serta tidak mengambil hak orang lain. Mereka peka terhadap ketidakadilan dan memiliki kepedulian terhadap orang yang lemah atau membutuhkan bantuan. Dengan demikian, Pancasila di hati anak Indonesia merupakan fondasi pembentukan karakter sejak dini. Nilai-nilai Pancasila yang hidup dalam hati anak akan membentuk generasi yang beriman, berperikemanusiaan, mencintai persatuan, demokratis, dan menjunjung keadilan. Ini menjadi harapan bagi masa depan bangsa Indonesia. Itulah sebabnya, Pancasila perlu ditanamkan dalam hati anak Indonesia sejak dini.
Menanamkan Pancasila dalam hati anak Indonesia sejak dini bukanlah proses yang instan, melainkan perjalanan yang berlangsung melalui hubungan, pengalaman, dan keteladanan. Anak tidak pertama-tama belajar nilai dari kata-kata, melainkan dari apa yang ia lihat, rasakan, dan alami setiap hari. Proses ini dimulai dari lingkungan keluarga. Di dalam keluarga, anak belajar makna Ketuhanan ketika ia diajak berdoa, bersyukur, dan melihat orang tua menjalani hidup dengan iman dan kerendahan hati. Ketika anak melihat orang tuanya menghormati perbedaan, berbicara dengan santun, dan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, anak menyerap nilai kemanusiaan dan kedamaian sebagai sesuatu yang wajar dan sebagaimana mestinya.
Dalam keseharian, Pancasila ditanamkan melalui relasi yang penuh kasih dan rasa aman. Saat anak diperlakukan dengan adil, didengarkan pendapatnya, dan tidak direndahkan, ia belajar tentang martabat manusia. Ketika anak diajarkan meminta maaf, memaafkan, dan menolong sesama, nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mulai berakar dalam dirinya. Nilai persatuan tumbuh ketika anak diperkenalkan pada keberagaman sebagai kenyataan yang indah. Melalui pertemanan yang beragam, cerita, permainan, dan aktivitas bersama, anak belajar bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekayaan. Ia belajar bekerja sama, berbagi, dan merasa menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar.
Pancasila juga ditanamkan melalui pembiasaan demokratis. Anak perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan sederhana. Misalnya: memilih permainan, menyepakati aturan bersama, atau menyelesaikan perbedaan pendapat dengan musyawarah. Dari situ anak belajar mendengar, menyampaikan pendapat dengan hormat, dan menerima keputusan bersama dengan tanggung jawab. Nilai keadilan sosial tumbuh ketika anak dibiasakan bersikap jujur, berbagi, dan peduli terhadap orang lain. Anak belajar bahwa setiap orang memiliki hak, bahwa mengambil milik orang lain adalah salah, dan bahwa membantu mereka yang lemah adalah perbuatan mulia. Keadilan tidak diajarkan sebagai konsep abstrak, tetapi sebagai sikap hidup sehari-hari.
Sekolah, tempat ibadah, dan lingkungan sosial memperkuat nilai-nilai ini melalui pendidikan yang konsisten dan selaras. Guru, tokoh agama, pemimpin, dan orang dewasa lainnya menjadi figur penting yang meneguhkan apa yang telah ditanamkan di rumah. Ketika anak melihat nilai Pancasila hidup secara nyata dalam komunitasnya, nilai tersebut semakin mengakar dalam hatinya.
Menanamkan Pancasila dalam hati anak Indonesia sejak dini berarti menghidupkan Pancasila dalam keseharian anak. Bukan sekadar mengajarkan lima sila, tetapi menghadirkan pengalaman nyata yang membentuk karakter. Dari sanalah akan tumbuh generasi yang menjadikan Pancasila sebagai suara hati, yang membimbing sikap, pilihan, dan tindakan anak sepanjang hidup mereka.(SRP)
